NOTE 7 : LINGKARAN ATURAN

Setiap kita, secara langsung maupun tidak langsung, akan menjadi hamba dari siapa atau apa yang dipatuhinya. Ada yang dengan terpaksa, ada yang sengaja da nada yang tidak sadar menjalani kepatuhannya dan sebagai bentuk penghambaan dirinya pada sesuatu. Saat kita patuh kepada suatu perintah atau larangan maka, secara tidak langsung kita sudah menjadi hamba dari yang memberi/membuat perintah atau larangan tersebut.
Menjadi seorang hamba diharuskan mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh majikannya. Seorang abdi Negara harus patuh terhadap semua aturan yang mengikatnya sejak dia resmi diangkat/dipilih. Seorang abdi masyarakat harus lebih memikirkan masyarakatnya dari pada dirinya sendiri, apalagi hanya untuk kepentingan golongannya saja. Seorang guru, harus berusaha semaksimal mungkin agar muridnya mengerti tentang apa yang diajarkannya. Saat ini mungkin sudah tidak ada lagi hamba sahaya seperti yang ada pada zaman sebelum kita. Seorang hamba sahaya mau tidak mau harus mematuhi aturan yang dibuat oleh tuannya.
Sejak kita terlahir, kita sudah berada dalam suatu aturan yang mau tidak mau harus kita jalani yaitu, Takdir. Kita juga sudah berjanji, saat kita diciptakan, untuk beribadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata, namun Sedikit sekali manusia yang sanggup secara konsisten mematuhi perjanjian yang sudah disepakatinya tersebut. Kebanyakan manusia terlena atau lebih tepatnya dibuat terlena oleh permainan yang dibuat oleh rayuan syaithon dan dorongan hawa nafsu..
Aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak seperti aturan yang dibuat manusia. Terkadang, saat kita mencuri, membunuh atau sekedar melanggar lampu merah, kita dapat dengan mudah meloloskan diri dari jerat hukuman, bahkan bisa saja hal itu tidak terungkap sampai akhir hayatnya. Itulah aturan manusia, bagaimana dengan aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Sudah pasti dan yakinlah, seluruh amal perbuatan, ucapan maupun yang tersirat di dalam hati manusia tidak akan pernah lolos dari pengawasan dan perhitungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Setiap kita berada dalam bermacam-macam lingkaran aturan yang semu dari berbagai macam diameter. Sebagai konsekuensinya, kita juga memiliki banyak tuan-tuan semu dan terus berganti seiring dinamika kehidupan manusia. Jika sebagai warga Negara, kita diikat oleh aturan RT, Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden bahkan aturan internasional. Begitu juga halnya, saat kita berada diposisi sebagai murid, pekerja, anggota organisasi, dsb. Bisa juga yang bersifat sementara seperti: saat kita berada di masjid berarti kita berada dalam lingkaran Rahmat, sebaliknya jika kita berada dalam lingkungan maksiat berarti kita berada dalam lingkaran laknat. Kita akan tetap berada dalam suatu lingkaran sampai kita melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, sehingga membuat kita dikeluarkan dari lingkaran tersebut.

Lingkaran sejati adalah aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa ada sampai batas waktu yang tidak bisa kita tentukan, sehingga Tuan yang sejati adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seharusnya, kita mengikuti aturan yang ada untuk menjaga kestabilan lingkaran tersebut dan diri kita sendiri sebab pembuat aturan tentunya lebih tahu dari yang diatur. Namun terkadang, secara tidak sadar, kita merasa/menganggap diri kita sudah mampu memposisikan diri kita di level pengatur (pembuat aturan), sehingga kita membuat aturan baru diluar aturan yang sudah ada.
Kita, sebagai makhluq, diwajibkan untuk belajar untuk mengetahui batasan-batasan yang dapat membuat diri kita keluar dari lingkaran Sang Kholiq. Sehingga, kita bisa menghayati dan meyakini dengan hati yang tulus bahwa kita berada dalam suatu lingkaran agama yang murni yang mengatur kehidupan kita. Hanya saja kita harus berhati-hati membedakan mana ajaran sebenarnya dan mana ajaran yang telah dimanipulasi atau dibuat-buat, sehingga kita harus menuntut ilmu sebanyak mungkin untuk bisa membedakan mana yang hak dan mana yang bathil.
Ketidaktahuan atau kurangnya ilmu pengetahuan akan aturan yang melingkari dirinya membuat seorang manusia secara tidak sadar telah melanggar aturan yang ada dalam lingkaran dimana dirinya berada. Sebagai contoh saja, jika kita memuji seseorang atas suatu kelebihan yang dimilikinya, nampak sekilas pujian itu merupakan hal yang baik untuk menghormati atau membuat senang orang yang dipujinya. Seandainya, dalam hati kita, meyakini kelebihan itu mutlak memang miliknya maka, kita telah menyalahi aturan agama dengan meniadakan Sang Pemilik Kelebihan itu yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Banyak sekali hal yang serupa dengan contoh diatas, yang pada intinya, ada dalam hati kita, bagaimana kita bisa menghubungkan segala perkara dengan Keberadaan AllahSubhanahu Wa Ta’ala, baik urusan agama maupun urusan dunia sekalipun agar kita tetap terjaga dalam lingkaranNya.
Sikap sebagai hamba, sangat diperlukan disaat kita menemukan aturan/ajaran agama yang meragukan diluar kemampuan akal manusia atau bahkan tidak masuk akal sama sekali dan tidak dapat djelaskan dengan tekhnologi tercanggih sekalipun. Saat itulah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji keimanan manusia, apakah mereka masih menghambakan dirinya kepada akal fikiran atau dengan ikhlas menghambakan diri (termasuk akal fikiran) kepadaNya. Seorang hamba, juga tidak akan cepat berkeluh kesah dalam melaksanakan perintah, karena dia sangat yakin bahwa penghambaannya merupakan hal terbaik yang bisa dilakukan dalam hidupnya dan tidak akan mengharapkan pamrih diluar yang telah dijanjikan atas penghambaannya.

Ref :
Al Baqoroh    : 21
Az Zariat       : 56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar