Setiap kita, secara langsung maupun
tidak langsung, akan menjadi hamba dari siapa atau apa yang dipatuhinya. Ada
yang dengan terpaksa, ada yang sengaja da nada yang tidak sadar menjalani
kepatuhannya dan sebagai bentuk penghambaan dirinya pada sesuatu. Saat kita patuh kepada suatu perintah atau
larangan maka, secara tidak langsung kita sudah menjadi hamba dari yang
memberi/membuat perintah atau larangan tersebut.
Menjadi seorang hamba diharuskan
mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh majikannya. Seorang abdi Negara harus
patuh terhadap semua aturan yang mengikatnya sejak dia resmi diangkat/dipilih.
Seorang abdi masyarakat harus lebih memikirkan masyarakatnya dari pada dirinya
sendiri, apalagi hanya untuk kepentingan golongannya saja. Seorang guru, harus
berusaha semaksimal mungkin agar muridnya mengerti tentang apa yang
diajarkannya. Saat ini mungkin sudah tidak ada lagi hamba sahaya seperti yang
ada pada zaman sebelum kita. Seorang hamba sahaya mau tidak mau harus mematuhi
aturan yang dibuat oleh tuannya.
Sejak kita terlahir, kita sudah
berada dalam suatu aturan yang mau tidak mau harus kita jalani yaitu, Takdir.
Kita juga sudah berjanji, saat kita diciptakan, untuk beribadah kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala semata, namun Sedikit sekali manusia yang sanggup secara
konsisten mematuhi perjanjian yang sudah disepakatinya tersebut. Kebanyakan
manusia terlena atau lebih tepatnya dibuat terlena oleh permainan yang dibuat
oleh rayuan syaithon dan dorongan hawa nafsu..
Aturan Allah Subhanahu Wa
Ta’ala tidak seperti aturan yang dibuat manusia. Terkadang, saat kita mencuri,
membunuh atau sekedar melanggar lampu merah, kita dapat dengan mudah meloloskan
diri dari jerat hukuman, bahkan bisa saja hal itu tidak terungkap sampai akhir
hayatnya. Itulah aturan manusia, bagaimana dengan aturan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala? Sudah pasti dan yakinlah, seluruh amal perbuatan, ucapan maupun
yang tersirat di dalam hati manusia tidak akan pernah lolos dari pengawasan dan
perhitungan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Setiap
kita berada dalam bermacam-macam lingkaran aturan yang semu dari berbagai macam
diameter. Sebagai konsekuensinya, kita juga memiliki banyak tuan-tuan semu dan
terus berganti seiring dinamika kehidupan manusia. Jika sebagai warga Negara,
kita diikat oleh aturan RT, Camat, Bupati, Gubernur sampai Presiden bahkan aturan
internasional. Begitu juga halnya, saat kita berada diposisi sebagai murid,
pekerja, anggota organisasi, dsb. Bisa juga yang bersifat sementara seperti:
saat kita berada di masjid berarti kita berada dalam lingkaran Rahmat,
sebaliknya jika kita berada dalam lingkungan maksiat berarti kita berada dalam
lingkaran laknat. Kita akan tetap berada dalam suatu lingkaran sampai kita melakukan
pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, sehingga membuat kita dikeluarkan
dari lingkaran tersebut.
Lingkaran
sejati adalah aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang senantiasa
ada sampai batas waktu yang tidak bisa kita tentukan, sehingga Tuan yang sejati
adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Seharusnya, kita mengikuti aturan yang ada untuk menjaga
kestabilan lingkaran tersebut dan diri kita sendiri sebab pembuat aturan tentunya
lebih tahu dari yang diatur. Namun terkadang, secara tidak sadar, kita
merasa/menganggap diri kita sudah mampu memposisikan diri kita di level
pengatur (pembuat aturan), sehingga kita membuat aturan baru diluar aturan yang
sudah ada.
Kita, sebagai makhluq, diwajibkan
untuk belajar untuk mengetahui batasan-batasan yang dapat membuat diri kita
keluar dari lingkaran Sang Kholiq. Sehingga, kita bisa menghayati dan meyakini
dengan hati yang tulus bahwa kita berada dalam suatu lingkaran agama yang murni
yang mengatur kehidupan kita. Hanya saja kita harus berhati-hati membedakan
mana ajaran sebenarnya dan mana ajaran yang telah dimanipulasi atau
dibuat-buat, sehingga kita harus menuntut ilmu sebanyak mungkin untuk bisa
membedakan mana yang hak dan mana yang bathil.
Ketidaktahuan atau kurangnya ilmu
pengetahuan akan aturan yang melingkari dirinya membuat seorang manusia secara
tidak sadar telah melanggar aturan yang ada dalam lingkaran dimana dirinya
berada. Sebagai contoh saja, jika kita memuji seseorang atas suatu kelebihan
yang dimilikinya, nampak sekilas pujian itu merupakan hal yang baik untuk
menghormati atau membuat senang orang yang dipujinya. Seandainya, dalam hati kita,
meyakini kelebihan itu mutlak memang miliknya maka, kita telah menyalahi aturan
agama dengan meniadakan Sang Pemilik Kelebihan itu yakni Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Banyak sekali hal yang serupa dengan contoh diatas, yang pada intinya,
ada dalam hati kita, bagaimana kita bisa menghubungkan segala perkara dengan
Keberadaan AllahSubhanahu Wa Ta’ala, baik urusan agama maupun urusan
dunia sekalipun agar kita tetap terjaga dalam lingkaranNya.
Sikap
sebagai hamba, sangat diperlukan disaat kita menemukan aturan/ajaran agama yang
meragukan diluar kemampuan akal manusia atau bahkan tidak masuk akal sama
sekali dan tidak dapat djelaskan dengan tekhnologi tercanggih sekalipun. Saat
itulah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji keimanan manusia,
apakah mereka masih menghambakan dirinya kepada akal fikiran atau dengan ikhlas
menghambakan diri (termasuk akal fikiran) kepadaNya. Seorang hamba, juga tidak
akan cepat berkeluh kesah dalam melaksanakan perintah, karena dia sangat yakin bahwa penghambaannya merupakan hal terbaik yang
bisa dilakukan dalam hidupnya dan tidak akan mengharapkan pamrih diluar
yang telah dijanjikan atas penghambaannya.
Ref
:
Al Baqoroh : 21
Az Zariat : 56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar