NOTE 4 : MODAL AWAL

Ada kalanya kita bermaksud mencoba menyampaikan sesuatu yang baru kita ketahui/yakini tentang kebenarannya kepada orang-orang di sekitar kita, namun ternyata apa yang kita sampaikan tidaklah mudah untuk bisa diterima dengan lapang dada oleh orang lain, apalagi perkara yang kita sampaikan ternyata bertentangan dengan pengetahuan atau keyakinan yang dimiliki oleh orang yang akan menerima. Kenyataan itu membuat kita sadar bahwa betapa berat beban tugas seorang manusia yang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu ajaran kepada suatu kaum sedangkan apa yang akan disampaikannya tidak sejalan atau berbeda dengan pemahaman mereka.
Kelapangan dada dan kebesaran hati adalah modal awal dalam usaha kita untuk membina hati agar dapat menerima kebenaran yaitu dengan membuka wawasan seluas mungkin dari semua ilmu pengetahuan dan keyakinan dalam ajaran agama ini sambil kita menganalisa mana yang benar dan mana yang tidak berdasarkan bukti-bukti otentik yang ada dan memang akan tetap ada sampai dunia ini berakhir.
Perpaduan antara ilmu dan iman, akan menyaring semua masukan dan kemudian akan kita gunakan sebagai panduan kita dalam membina hati. Dengan iman, kita memohon bantuan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala agar kita diarahkan ke jalan yang benar karena, hanya Dia yang mampu melakukan itu. Dengan ilmu, kita bisa memperkaya akal fikiran kita untuk lebih jeli menyeleksi semua masukan sehingga akan sangat membantu hati dalam proses pengambilan keputusan mana yang baik dan mana yang buruk.
Jika berbicara mengenai akal fikiran, maka kita tidak akan terlepas dari bahasan tentang kapasitas serta kualitas akal fikiran itu sendiri. Berapa banyak ilmu pengetahuan yang bisa ditampung dan berapa cepat kemampuan akal fikiran kita untuk menganalisa semua data yang kita terima. Tentunya, masing-masing manusia akan memiliki kelebihan serta kekurangan, sehingga menjadikan hal itu sebagai pembeda antara satu manusia dengan manusia yang lain. Hal ini memberi isyarat kepada kita agar dalam menuntut ilmu tetap berupaya semaksimal mungkin, namun jangan terlalu memaksakan diri, karena akal memiliki batas kemampuan yang tidak bisa dilewati disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat kita menerima ilmu.
Kita juga menyadari bahwa mencari kebenaran tidaklah mudah sehingga, kita harus memiliki kesabaran yang cukup, baik dalam hal menuntut ilmu atau menjaga keimanan. Banyak kisah yang menceritakan tentang seseorang yang tadinya biasa saja namun dengan kesungguhan serta kesabarannya berubah menjadi orang yang luar biasa. Hal ini menasehatkan kepada kita agar tidak pernah berputus asa, teruslah berusaha dan perbanyaklah berdo’a serta memohon bantuan dan bimbingan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala..
Seperti yang pernah diuraikan sebelumnya, alat untuk menjaga hati adalah dengan ilmu dan iman. Ilmu yang dimaksud disini adalah pengetahuan yang bisa digunakan untuk membedakan mana yang baik atau benar dan mana yang buruk atau salah. Sangat picik jika seseorang sudah merasa dirinya sempurna dan memiliki segala ilmu, karena semakin banyak ilmu kita peroleh, maka akan semakin banyak pula kekurangan yang kita miliki sehingga wajar saja jika perkara menuntut ilmu tidak akan pernah selesai sampai akhirnya hayat kita.
Setiap ilmu yang kita peroleh haruslah dilandasi iman, begitupun sebaliknya iman harus berdasarkan ilmu, keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ilmu tanpa iman akan berakibat kebinasaan bagi kita bahkan bagi lingkungan sekitar, sementara iman tanpa ilmu adalah kesesatan.
Dalam menuntut ilmu, kita akan menjumpai banyak sekali cabang karena masing-masing cabang mempunyai dasar pemikiran sendiri sehingga tidak jarang terjadi pengelompokan di kalangan orang-orang berilmu disebabkan perbedaan dasar pemikiran atas sesuatu perkara. Tentu, ini akan membuat kebingungan bagi kita yang awam dengan ilmu, mana yang harus diikuti?. Tapi, janganlah kebingungan itu membuat kita mundur, justru dengan banyaknya perbedaan dasar pemikiran tersebut akan memberikan motivasi kita untuk mempelajarinya satu persatu mengenai kelebihan dan kekurangannya sehingga pada akhirnya akan kita peroleh suatu kesimpulan atas semua perbedaan yang terjadi.
Dalam upaya menghidupkan hati, ada baiknya kita mencoba mengisi hati dengan iman yang berlandaskan ilmu, karena iman inilah yang lambat laun menghapus noda-noda sehingga pada akhirnya, hati kita menjadi bersih dan siap dihiasi dengan cahaya iman serta siraman ilmu pengetahuan. Memang tidak mudah, namun cobalah mulai dengan cara mengerjakan ibadah yang wajib sebagai bentuk usaha kita mengisi hati dengan iman dan berusaha mencari ilmu yang berkaitan dengan ibadah tersebut serinci mungkin sebagai landasan kita beribadah dan setelah kita mendapatkan ilmunya segera kita koreksi lalu segera dipraktekkan. Sepertinya tidaklah mudah dan akan butuh banyak perjuangan, namun saat kita berupaya berjuang untuk melakukan ibadah sebaik mungkin, maka saat itulah hati kita perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, menghidupkan hati kita. Sampai suatu saat, dengan sendirinya ibadah itu akan berubah dari beban menjadi kebutuhan.
Dari satu ibadah ke ibadah yang lain, kita terus belajar dan mempraktekkan serta mengoreksinya. Seiring perjalanan kita memperbaiki cara ibadah kita, berusahalah tetap memohon bantuan dan bimbingan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena syaiton dan hawa nafsu juga akan semakin meningkatkan pasukannya. Jangan sekali-kali manusia seperti kita merasa/berfikir mampu melakukan itu semua tanpa bantuan dan bimbingan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, jelas hal itu mustahil. Jadi sepatutnyalah, kita juga terus menerus bersyukur atas setiap pencapaian yang kita peroleh, karena itu tidak akan berhasil tanpa bantuanNya.
Rasa ketidakmampuan atas segala hal dan tetap bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada kita adalah perhiasan hati yang sangat mahal, sehingga jagalah dengan baik, karena secara tidak langsung kita sudah memulai pengobatan dari penyakit hati, seperti : sombong, iri hati, serakah dan lain lain.
Bagaimana orang bisa menyombongkan dirinya sementara dia sadar segala sesuatu yang dia miliki hanyalah titipan belaka. Bagaimana seorang manusia bisa memelihara sifat iri hati kalau dia tahu segala sesuatu yang dimiliki manusia sudah diatur oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dan apa-apa yang menyangkut perkara dunia tidak ada yang kekal sehingga sewaktu-waktu jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki akan mengambilnya, maka hilanglah itu semua. Bagaimana seorang manusia bisa bersifat serakah akan dunia ini, jika dia tahu bahwa semuanya sudah diatur oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala, akankah keserakahannya itu bisa membuat hatinya tenang atau hidupnya bahagia, karena kita semua tahu, keserakahan tidak memiliki ujung dan akan menimbulkan dampak negatif, baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sekitar.
Hati akan menjadi tenang saat kita terhubung dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tidaklah salah jika kita berkesimpulan bahwa benteng paling kuat dalam menjaga hati adalah selalu menghubungkan hati dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini sudah menjadi semboyan yang terus dikumandangkan oleh orang-orang yang menyeru kepada kebaikan agar kita selalu berjuang memperbaiki benteng hati kita, karena akan selalu ada yang berusaha menjebolnya dari segala penjuru, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Ibarat balon,roda dan nasi dalam bahasan sebelumnya, maka janganlah mencari jalan pintas dalam menuntut ilmu atau menambah iman, sehingga mencari yang instan atau karbitan, jelas ini akan berakibat tidak baik dan kurang terjamin kekokohannya karena tidak memiliki dasar/pondasi yang kuat. Terkadang ada orang yang terlihat bernilai tinggi dihadapan manusia namun ternyata ada orang lain yang lebih dari dia padahal secara kasat mata tidak terlihat kelebihan yang mencolok, namun ternyata tingkat kesungguhan/kerja keraslah yang menjadikan perbedaannya.
Ada sebagian orang yang menempuh suatu jalan yang dianggapnya bisa merubah dirinya secara signifikan dalam waktu yang singkat tanpa dibarengi ilmu pengetahuan yang cukup, sehingga berakibat yang tidak baik. Jadi, janganlah tergoda dengan iming-iming ilmu yang belum jelas kebenarannya, yang bisa secara cepat menaikkan derajat kita atau suatu ibadah tanpa landasan yang benar, yang bisa mempercepat kita menggapai sesuatu tingkatan. Mulailah semuanya dari awal sehingga apa yang kita bangun akan menjadi kokoh. Nilai suatu pencapaian bukan semata-mata dilihat dari hasil akhirnya, tapi tergantung juga dari bagaimana usaha/kesungguhan dalam mencapainya.

Ref :
At Takwir        : 27-29
Az Zukhruf      : 36
Al Kahfi          : 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar