Ada kalanya kita bermaksud mencoba
menyampaikan sesuatu yang baru kita ketahui/yakini tentang kebenarannya kepada
orang-orang di sekitar kita, namun ternyata apa yang kita sampaikan tidaklah
mudah untuk bisa diterima dengan lapang dada oleh orang lain, apalagi perkara
yang kita sampaikan ternyata bertentangan dengan pengetahuan atau keyakinan
yang dimiliki oleh orang yang akan menerima. Kenyataan itu membuat kita sadar
bahwa betapa berat beban tugas seorang manusia yang yang diutus untuk
menyampaikan sesuatu ajaran kepada suatu kaum sedangkan apa yang akan
disampaikannya tidak sejalan atau berbeda dengan pemahaman mereka.
Kelapangan dada dan kebesaran hati adalah
modal awal dalam usaha kita untuk membina hati agar dapat menerima kebenaran
yaitu dengan membuka wawasan seluas mungkin dari semua ilmu pengetahuan dan
keyakinan dalam ajaran agama ini sambil kita menganalisa mana yang benar dan
mana yang tidak berdasarkan bukti-bukti otentik yang ada dan memang akan tetap
ada sampai dunia ini berakhir.
Perpaduan antara ilmu dan iman, akan
menyaring semua masukan dan kemudian akan kita gunakan sebagai panduan kita
dalam membina hati. Dengan iman, kita memohon bantuan kepada Allah Subhanahu
Wa Ta'ala agar kita diarahkan ke jalan yang benar karena, hanya Dia yang
mampu melakukan itu. Dengan ilmu, kita bisa memperkaya akal fikiran kita untuk
lebih jeli menyeleksi semua masukan sehingga akan sangat membantu hati dalam
proses pengambilan keputusan mana yang baik dan mana yang buruk.
Jika berbicara mengenai akal
fikiran, maka kita tidak akan terlepas dari bahasan tentang kapasitas serta
kualitas akal fikiran itu sendiri. Berapa banyak ilmu pengetahuan yang bisa
ditampung dan berapa cepat kemampuan akal fikiran kita untuk menganalisa semua
data yang kita terima. Tentunya, masing-masing manusia akan memiliki kelebihan
serta kekurangan, sehingga menjadikan hal itu sebagai pembeda antara satu
manusia dengan manusia yang lain. Hal ini memberi isyarat kepada kita agar
dalam menuntut ilmu tetap berupaya semaksimal mungkin, namun jangan terlalu
memaksakan diri, karena akal memiliki batas kemampuan yang tidak bisa dilewati
disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat kita menerima ilmu.
Kita
juga menyadari bahwa mencari kebenaran tidaklah mudah sehingga, kita harus
memiliki kesabaran yang cukup, baik dalam hal menuntut ilmu atau menjaga
keimanan. Banyak kisah yang menceritakan tentang seseorang yang tadinya biasa
saja namun dengan kesungguhan serta kesabarannya berubah menjadi orang yang
luar biasa. Hal ini menasehatkan kepada kita agar tidak pernah berputus asa,
teruslah berusaha dan perbanyaklah berdo’a serta memohon bantuan dan bimbingan
kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala..
Seperti yang pernah diuraikan
sebelumnya, alat untuk menjaga hati adalah dengan ilmu dan iman. Ilmu yang dimaksud
disini adalah pengetahuan yang bisa digunakan untuk membedakan mana yang baik
atau benar dan mana yang buruk atau salah. Sangat picik jika seseorang sudah
merasa dirinya sempurna dan memiliki segala ilmu, karena semakin banyak ilmu
kita peroleh, maka akan semakin banyak pula kekurangan yang kita miliki
sehingga wajar saja jika perkara menuntut ilmu tidak akan pernah selesai sampai
akhirnya hayat kita.
Setiap ilmu yang kita peroleh
haruslah dilandasi iman, begitupun sebaliknya iman harus berdasarkan ilmu,
keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ilmu tanpa iman akan berakibat
kebinasaan bagi kita bahkan bagi lingkungan sekitar, sementara iman tanpa ilmu
adalah kesesatan.
Dalam menuntut ilmu, kita akan
menjumpai banyak sekali cabang karena masing-masing cabang mempunyai dasar
pemikiran sendiri sehingga tidak jarang terjadi pengelompokan di kalangan
orang-orang berilmu disebabkan perbedaan dasar pemikiran atas sesuatu perkara.
Tentu, ini akan membuat kebingungan bagi kita yang awam dengan ilmu, mana yang
harus diikuti?. Tapi, janganlah kebingungan itu membuat kita mundur, justru
dengan banyaknya perbedaan dasar pemikiran tersebut akan memberikan motivasi
kita untuk mempelajarinya satu persatu mengenai kelebihan dan kekurangannya
sehingga pada akhirnya akan kita peroleh suatu kesimpulan atas semua perbedaan
yang terjadi.
Dalam upaya menghidupkan hati, ada
baiknya kita mencoba mengisi hati dengan iman yang berlandaskan ilmu, karena
iman inilah yang lambat laun menghapus noda-noda sehingga pada akhirnya, hati
kita menjadi bersih dan siap dihiasi dengan cahaya iman serta siraman ilmu
pengetahuan. Memang tidak mudah, namun cobalah mulai dengan cara mengerjakan
ibadah yang wajib sebagai bentuk usaha kita mengisi hati dengan iman dan
berusaha mencari ilmu yang berkaitan dengan ibadah tersebut serinci mungkin
sebagai landasan kita beribadah dan setelah kita mendapatkan ilmunya segera
kita koreksi lalu segera dipraktekkan. Sepertinya tidaklah mudah dan akan butuh
banyak perjuangan, namun saat kita
berupaya berjuang untuk melakukan ibadah sebaik mungkin, maka saat itulah hati
kita perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, menghidupkan hati kita. Sampai
suatu saat, dengan sendirinya ibadah itu akan berubah dari beban menjadi
kebutuhan.
Dari satu ibadah ke ibadah yang
lain, kita terus belajar dan mempraktekkan serta mengoreksinya. Seiring
perjalanan kita memperbaiki cara ibadah kita, berusahalah tetap memohon bantuan
dan bimbingan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena syaiton dan hawa
nafsu juga akan semakin meningkatkan pasukannya. Jangan sekali-kali manusia seperti kita merasa/berfikir mampu melakukan
itu semua tanpa bantuan dan bimbingan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
jelas hal itu mustahil. Jadi sepatutnyalah, kita juga terus menerus
bersyukur atas setiap pencapaian yang kita peroleh, karena itu tidak akan
berhasil tanpa bantuanNya.
Rasa ketidakmampuan atas segala hal
dan tetap bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikanNya kepada kita
adalah perhiasan hati yang sangat mahal, sehingga jagalah dengan baik, karena
secara tidak langsung kita sudah memulai pengobatan dari penyakit hati, seperti
: sombong, iri hati, serakah dan lain lain.
Bagaimana
orang bisa menyombongkan dirinya sementara dia sadar segala sesuatu yang dia
miliki hanyalah titipan belaka.
Bagaimana seorang manusia bisa memelihara sifat iri hati kalau dia tahu segala
sesuatu yang dimiliki manusia sudah diatur oleh Allah Subhanahu Wa
Ta'ala dan apa-apa yang menyangkut perkara dunia tidak ada yang kekal
sehingga sewaktu-waktu jika Allah Subhanahu Wa Ta'ala menghendaki
akan mengambilnya, maka hilanglah itu semua. Bagaimana seorang manusia bisa
bersifat serakah akan dunia ini, jika dia tahu bahwa semuanya sudah diatur oleh
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, akankah keserakahannya itu bisa membuat
hatinya tenang atau hidupnya bahagia, karena kita semua tahu, keserakahan tidak
memiliki ujung dan akan menimbulkan dampak negatif, baik bagi dirinya sendiri
maupun lingkungan sekitar.
Hati akan menjadi tenang saat kita
terhubung dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Tidaklah salah jika
kita berkesimpulan bahwa benteng paling kuat dalam menjaga hati adalah selalu
menghubungkan hati dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Hal ini sudah
menjadi semboyan yang terus dikumandangkan oleh orang-orang yang menyeru kepada
kebaikan agar kita selalu berjuang memperbaiki benteng hati kita, karena akan
selalu ada yang berusaha menjebolnya dari segala penjuru, baik secara sadar
maupun tidak sadar.
Ibarat balon,roda dan nasi dalam
bahasan sebelumnya, maka janganlah mencari jalan pintas dalam menuntut ilmu
atau menambah iman, sehingga mencari yang instan atau karbitan, jelas ini akan
berakibat tidak baik dan kurang terjamin kekokohannya karena tidak memiliki
dasar/pondasi yang kuat. Terkadang ada orang yang terlihat bernilai tinggi
dihadapan manusia namun ternyata ada orang lain yang lebih dari dia padahal
secara kasat mata tidak terlihat kelebihan yang mencolok, namun ternyata
tingkat kesungguhan/kerja keraslah yang menjadikan perbedaannya.
Ada
sebagian orang yang menempuh suatu jalan yang dianggapnya bisa merubah dirinya
secara signifikan dalam waktu yang singkat tanpa dibarengi ilmu pengetahuan
yang cukup, sehingga berakibat yang tidak baik. Jadi, janganlah tergoda dengan
iming-iming ilmu yang belum jelas kebenarannya, yang bisa secara cepat
menaikkan derajat kita atau suatu ibadah tanpa landasan yang benar, yang bisa
mempercepat kita menggapai sesuatu tingkatan. Mulailah semuanya dari awal
sehingga apa yang kita bangun akan menjadi kokoh. Nilai suatu pencapaian bukan
semata-mata dilihat dari hasil akhirnya, tapi tergantung juga dari bagaimana
usaha/kesungguhan dalam mencapainya.
Ref
:
At Takwir : 27-29
Az Zukhruf : 36
Al Kahfi : 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar