NOTE 6 : HARGA KETIADAAN

Setiap orang merasa sedih dan menyesal, jika kehilangan sesuatu yang dianggap berharga bagi dirinya. Kita juga akan merasa bersalah, karena mereka menyia-nyiakan sesuatu yang sudah hilang, padahal banyak kesempatan untuk berbuat baik disaat kita masih memilikinya. Begitulah kenyataannya,  terkadang kita baru menyadari sesuatu yang berharga setelah sesuatu itu tiada.
Pernah sekali waktu penulis pulang kerja, mendapati anaknya duduk diatas sejadah sambil menangis. Penulis bertanya “ada apa gerangan nak, sampai harus menangis”, si anak menjawab ”kucing kita hilang, Pa”. Lalu, penulis mencoba memberi nasehat kepada anaknya seraya berkata, “setiap sesuatu yang bernyawa pasti suatu saat akan tiba ajalnya, setiap pertemuan akan ada perpisahan, maka perlakukan kucingmu dengan baik selagi dia ada disisimu, dan sekarang do’akanlah kucingmu agar bisa mendapat tempat lebih baik dari yang didapatnya saat masih tinggal bersama kita”. Sebagian orang beranggapan tidak ada gunanya memelihara seekor kucing, namun bagi anak penulis, kucing adalah sesuatu yang berharga. Begitulah, kadangkala kita menganggap kecil suatu perkara atau benda, namun sangat berharga bagi orang lain.
Ada juga sebagian orang yang menyia-nyiakan istri/suami, anak bahkan mungkin orangtuanya sendiri, mereka sibuk dengan perburuan mencari dunia walaupun terkadang berargumen bahwa semua yang dia lakukan/usahakan untuk kebahagiaan suami/istri, anak atau orangtuanya. Namun, terkadang kita tidak sempat menanyakan kepada mereka tentang apa yang sebenarnya mereka inginkan/butuhkan, karena waktu kita sudah tidak tersisa lagi buat melakukan itu. Kita baru akan sadar setelah mereka pergi dari kehidupan kita, akhirnya yang tersisa penyesalan dan mungkin saja tidak bisa diulang kembali.
Uraian diatas lebih mengena untuk hubungan sesama makhluk, bagaimana jika hubungan makhluq dengan Sang Kholiq. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kita banyak sekali nikmat, namun sedikit sekali orang yang bisa mensyukurinya dengan baik. Lihatlah kaki kita, telah kita langkahkan kemana saja? Mata kita, apa-apa yang sudah kita lihat? Tangan kita, sudah melakukan apa saja? Telinga kita, dipakai untuk mendengarkan apa selama ini? Mulut kita, berapa banyak perkataan tidak baik keluar darinya?, seluruh tubuh kita punya hak untuk dipergunakan dengan cara dan tujuan yang baik. Sungguh, betapa besar kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala , sehingga sampai detik ini kita masih bisa menikmati anggota tubuh kita ini walaupun kita sudah banyak mempergunakannya dengan cara dan untuk tujuan yang tidak baik. Apa yang terjadi? jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkehendak untuk mengambil nikmat yang telah Dia berikan kepada kita, karena sebenarnya itu sangat mungkin terjadi.
Bagaimana perasaan kita bila mampu memiliki sesuatu yang kita cita-citakan sejak lama, tentu saja kita akan menjaganya dengan baik agar tidak rusak atau digunakan untuk sesuatu yang tidak kita kehendaki. Begitulah, perasaan seorang tuna netra jika dia bisa melihat atau seorang yang lumpuh, jika dia bisa menggerakkan kakinya,dsb. Terkadang kita lebih menghargai benda-benda yang terlihat mewah, canggih, mahal yang kita belum tentu tahu apakah benda-benda tersebut bisa memberikan banyak manfaat bagi kita atau mungkin saja akan menimbulkan penyakit dalam hati kita jika tidak dikelola dengan baik, seperti : sombong terhadap manusia disekitarnya, serakah akibat biaya operasional dan perawatannya, iri hati melihat orang lain memilki yang lebih mewah/canggih/mahal daripada milik kita, dsb. Sementara itu, jika kita mengidap suatu penyakit yang susah untuk disembuhkan, maka dengan rela kita melepas semua benda kesayangan kita agar bisa sembuh dari penyakit tersebut. Hal ini menunjukkan betapa mahal nikmat kesehatan yang diberikan kepada kita namun, sempatkah kita berterima kasih kepada yang memberikannya?. Mengapa kita tidak menghargai/mensyukuri semua yang sudah diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta‘ala dengan gratis dan bernilai sangat tinggi, sebelum akhirnya berkurang atau hilang?
Sepertinya kita belum bisa menghargai/mensyukuri nikmat indera penglihatan dengan baik sebelum kita sadar bagaimana kehidupan seorang tuna netra. Kita juga belum bisa menghargai dan mensyukuri anugerah/nikmat bisa berjalan sebelum kita sadar bagaimana seorang yang lumpuh, begitu juga anggota tubuh kita yang lain. Seharusnya kita berusaha untuk membutakan mata dari melihat yang dilarang oleh ajaran agama, berusaha untuk melumpuhkan kaki dari tempat atau perbuatan yang menyalahi tuntunan agama, berusaha untuk menulikan telinga dari mendengar suara/perkataan yang tidak baik, dsb. Seharusnya pula, kita berusaha mengisi mata dengan melihat yang diperintahkan oleh ajaran agama, berusaha memanfaatkan tangan dan kaki untuk melangkah dan berbuat amal kebaikan dan berusaha memanfaatkan telinga untuk mendengarkan tuntunan agama dan lantunan Kalam Ilahi, dsb.
Seharusnya kita minta izin dahulu jika akan memakai/mempergunakan sesuatu milik orang lain. Bagaimana tubuh kita, semuanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala , saat kaki akan melangkah, saat mata ingin melihat sesuatu, saat telinga ingin mendengar, saat tangan ingin melakukan sesuatu pekerjaan, dan semua anggota tubuh yang akan difungsikan, kita mencoba memintakan izin sebelumnya kepada yang menguasainya yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun, tidaklah semudah melaksanakannya, perlu tekad berjuang yang konsisten, karena manusia memilki musuh yang sangat handal yaitu syaithon dan syahwat, sehingga manusia sering dibuat terlena dan lupa diri.
Selanjutnya kita harusnya menyadari lalu membiasakan diri untuk selalu ingat dan sadar bahwa saat kita melihat, mendengar, berucap, berbuat dsb. Sudah pasti menggunakan fasilitas yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga, dengan demikian, lambat laun, kita akan diselamatkan dari bisikan syaithon dan jebakan syahwat. Amiin.

Ref:
Al  Fajr       : 15-16
Al Isro         : 83
Al Hadid      : 22-23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar