Setiap orang merasa sedih dan
menyesal, jika kehilangan sesuatu yang dianggap berharga bagi dirinya. Kita
juga akan merasa bersalah, karena mereka menyia-nyiakan sesuatu yang sudah hilang,
padahal banyak kesempatan untuk berbuat baik disaat kita masih memilikinya. Begitulah
kenyataannya, terkadang kita baru menyadari sesuatu yang berharga setelah sesuatu itu
tiada.
Pernah sekali waktu penulis pulang
kerja, mendapati anaknya duduk diatas sejadah sambil menangis. Penulis bertanya
“ada apa gerangan nak, sampai harus menangis”, si anak
menjawab ”kucing kita hilang, Pa”. Lalu, penulis mencoba memberi nasehat kepada
anaknya seraya berkata, “setiap sesuatu yang bernyawa pasti suatu saat akan
tiba ajalnya, setiap pertemuan akan ada perpisahan, maka perlakukan kucingmu
dengan baik selagi dia ada disisimu, dan sekarang do’akanlah kucingmu agar bisa
mendapat tempat lebih baik dari yang didapatnya saat masih tinggal bersama
kita”. Sebagian orang beranggapan tidak ada gunanya memelihara seekor kucing,
namun bagi anak penulis, kucing adalah sesuatu yang berharga. Begitulah, kadangkala kita menganggap kecil suatu
perkara atau benda, namun sangat berharga bagi orang lain.
Ada juga sebagian orang yang
menyia-nyiakan istri/suami, anak bahkan mungkin orangtuanya sendiri, mereka
sibuk dengan perburuan mencari dunia walaupun terkadang berargumen bahwa semua
yang dia lakukan/usahakan untuk kebahagiaan suami/istri, anak atau orangtuanya.
Namun, terkadang kita tidak sempat menanyakan kepada mereka tentang apa yang
sebenarnya mereka inginkan/butuhkan, karena waktu kita sudah tidak tersisa lagi
buat melakukan itu. Kita baru akan sadar setelah mereka pergi dari kehidupan
kita, akhirnya yang tersisa penyesalan dan mungkin saja tidak bisa diulang
kembali.
Uraian diatas lebih mengena untuk
hubungan sesama makhluk, bagaimana jika hubungan makhluq dengan Sang Kholiq.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan kita banyak sekali
nikmat, namun sedikit sekali orang yang bisa mensyukurinya dengan baik.
Lihatlah kaki kita, telah kita langkahkan kemana saja? Mata kita, apa-apa yang
sudah kita lihat? Tangan kita, sudah melakukan apa saja? Telinga kita, dipakai
untuk mendengarkan apa selama ini? Mulut kita, berapa banyak perkataan tidak
baik keluar darinya?, seluruh tubuh kita punya hak untuk dipergunakan dengan
cara dan tujuan yang baik. Sungguh, betapa besar kasih sayang Allah Subhanahu
Wa Ta’ala , sehingga sampai
detik ini kita masih bisa menikmati anggota tubuh kita ini walaupun kita sudah
banyak mempergunakannya dengan cara dan untuk tujuan yang tidak baik. Apa
yang terjadi? jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkehendak untuk
mengambil nikmat yang telah Dia berikan kepada kita, karena sebenarnya itu
sangat mungkin terjadi.
Bagaimana perasaan kita bila mampu
memiliki sesuatu yang kita cita-citakan sejak lama, tentu saja kita akan
menjaganya dengan baik agar tidak rusak atau digunakan untuk sesuatu yang tidak
kita kehendaki. Begitulah, perasaan seorang tuna netra jika dia bisa melihat
atau seorang yang lumpuh, jika dia bisa menggerakkan kakinya,dsb. Terkadang
kita lebih menghargai benda-benda yang terlihat mewah, canggih, mahal yang kita
belum tentu tahu apakah benda-benda tersebut bisa memberikan banyak manfaat
bagi kita atau mungkin saja akan menimbulkan penyakit dalam hati kita jika
tidak dikelola dengan baik, seperti : sombong terhadap manusia disekitarnya,
serakah akibat biaya operasional dan perawatannya, iri hati melihat orang lain
memilki yang lebih mewah/canggih/mahal daripada milik kita, dsb. Sementara itu,
jika kita mengidap suatu penyakit yang susah untuk disembuhkan, maka dengan
rela kita melepas semua benda kesayangan kita agar bisa sembuh dari penyakit
tersebut. Hal ini menunjukkan betapa mahal nikmat kesehatan yang diberikan
kepada kita namun, sempatkah kita berterima kasih kepada yang memberikannya?. Mengapa kita tidak menghargai/mensyukuri
semua yang sudah diberikan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta‘ala dengan gratis dan bernilai sangat tinggi, sebelum
akhirnya berkurang atau hilang?
Sepertinya kita belum bisa
menghargai/mensyukuri nikmat indera penglihatan dengan baik sebelum kita sadar
bagaimana kehidupan seorang tuna netra. Kita juga belum bisa menghargai dan
mensyukuri anugerah/nikmat bisa berjalan sebelum kita sadar bagaimana seorang
yang lumpuh, begitu juga anggota tubuh kita yang lain. Seharusnya kita berusaha
untuk membutakan mata dari melihat yang dilarang oleh ajaran agama, berusaha
untuk melumpuhkan kaki dari tempat atau perbuatan yang menyalahi tuntunan
agama, berusaha untuk menulikan telinga dari mendengar suara/perkataan yang tidak
baik, dsb. Seharusnya pula, kita berusaha mengisi mata dengan melihat yang
diperintahkan oleh ajaran agama, berusaha memanfaatkan tangan dan kaki untuk
melangkah dan berbuat amal kebaikan dan berusaha memanfaatkan telinga untuk
mendengarkan tuntunan agama dan lantunan Kalam Ilahi, dsb.
Seharusnya
kita minta izin dahulu jika akan memakai/mempergunakan sesuatu milik orang
lain. Bagaimana tubuh kita, semuanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala , saat kaki akan melangkah, saat mata
ingin melihat sesuatu, saat telinga ingin mendengar, saat tangan ingin
melakukan sesuatu pekerjaan, dan semua anggota tubuh yang akan difungsikan,
kita mencoba memintakan izin sebelumnya kepada yang menguasainya yaitu Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Namun, tidaklah semudah melaksanakannya, perlu tekad berjuang
yang konsisten, karena manusia memilki musuh yang sangat handal yaitu syaithon
dan syahwat, sehingga manusia sering dibuat terlena dan lupa diri.
Selanjutnya
kita harusnya menyadari lalu membiasakan diri untuk selalu ingat dan sadar
bahwa saat kita melihat, mendengar, berucap, berbuat dsb. Sudah pasti menggunakan
fasilitas yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga,
dengan demikian, lambat laun, kita akan diselamatkan dari bisikan syaithon dan
jebakan syahwat. Amiin.
Ref:
Al Fajr : 15-16
Al Isro : 83
Al Hadid : 22-23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar