NOTE 11 : RANTING POKOK

Saat di bangku sekolah, dimana masing-masing sekolah memiliki pelajaran diluar jam sekolah (extra Kurikuler), baik itu berupa olah raga, musik, tari bahkan kursus tambahan, semua itu tidak lain adalah sarana untuk lebih memperluas wawasan kita akan ilmu pengetahuan, bahkan terkadang extra Kurikuler tersebut lebih dinikmati daripada harus duduk di kelas mengikuti pelajaran yang wajib. Karena tujuan utama kita adalah belajar sesuai kurikulum yang sudah ada maka, kita boleh-boleh saja mengikuti semua extra kurikuler tersebut asalkan tidak mengganggu kewajiban belajar kita sesungguhya.
Begitu pula ajaran agama yang sudah memiliki ajaran yang wajib dan ada pula yang sunnah (berpahala jika dikerjakan tapi tidak berdosa jika ditinggalkan). Mungkin sebagian atau semua kita berfikir bahwa ibarat makan nasi kita butuh lauk pauk dan sayur mayor, maka perkara sunnah juga perlu dilakukan agar kita beragama dengan lengkap, namun jangan sampai kita disibukkan dengan perkara sunnah sampai kita terlupakan untuk menyempurnakan perkara wajib, karena tidaklah enak bagaimanapun lauk atau sayurnya jika makanan pokoknya (nasi) tidak dimasak dengan benar.
Diantara kita mungkin ada yang mengerjakan ibadah sunnah dengan bobot yang lebih tinggi, baik kualitas maupun kuantitasnya dibandingkan mengerjakan perkara yang wajib. Hal itu bisa terjadi, kemungkinan disebabkan karena kejenuhan atas rutinitas perkara wajib, sehingga sebagian kita berusaha untuk mencoba alternatif lain yang terkadang cenderung berlebihan. Padahal perkara yang wajib saja, belum tentu sudah kita kerjakan dengan baik dan benar. Apakah tidak lebih baik membenahi perkara wajib lebih dahulu, baru kemudian tambahannya?
Uraian diatas sekedar mengingatkan kita bahwa ada perkara yang pokok (utama) dalam ajaran agama kita dan ada pula ranting (tambahan), sehingga kita diharapkan untuk bisa membedakan posisi kedua perkara tersebut dan memberikan prioritas masing-masing sesuai peruntukannya. Seandainya, waktu hidup kita dan kapasitas akal yang kita miliki jika semuanya digunakan untuk mengupas habis perkara yang wajib saja, belum tentu cukup untuk menyelesaikannya. Jadi boleh saja kita mempelajari/melakukan suatu perkara tambahan asalkan kita tidak terlena/lalai terhadap perkara yang wajib.
Manusia sebagai makhluq yang tercipta dalam keadaan yang terus berkeluh kesah, sehingga terkadang manusia lebih cenderung memilih perkara yang dianggap mudah dan enak untuk dipelajari/dilakukan. Hal ini jika tidak dibatasi, akan membuat manusia tidak lagi berjalan pada koridor ajaran agama yang sebenarnya, disebabkan manusia lebih mendahulukan akal fikirannya dibanding ajaran agama yang dianutnya. Berusaha membenarkan sesuatu yang dianggapnya mudah dan enak bagi dirinya, kalau seperti itu kejadiannya maka ajaran agama sudah berada diperingkat kedua dibawah akal dan fikiran manusia.
Tak kenal maka tak sayang, pepatah ini cukup menggambarkan bahwa jika kita tidak punya keinginan untuk mengetahui sesuatu maka kita tidak akan pernah tahu apa yang terkandung di dalamnya sehingga kita tidak akan bisa menyayangi atau mencintainya. Mungkin saja perkara tambahan yang kita bicarakan diatas terlihat lebih memiliki arti dibanding perkara yang pokok, ini disebabkan kita tidak tahu apa yang sebenarnya berada dibalik atau didalam perkara pokok tersebut dan kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mau tahu atau mungkin saja ada rasa takut untuk mengetahuinya.
Tidak ada salahnya jika kita mencoba mengetahui atau mempelajari dengan sedikit agak mendalam tentang ajaran agama yang pokok sehingga mungkin saja kita bisa menguak isi dari ajaran pokok tersebut. Hal ini memang tidaklah mudah dibandingkan dengan mempelajari perkara yang berupa tambahan saja karena sebagian perkara pokok tersebut tidak begitu jelas kegunaan dan manfaatnya sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dan ilmu pengetahuan yang lebih mendalam untuk memahami apa makna sebenarnya. Dengan demikian mengertilah kita mengapa sebagian dari kita lebih memilih mengerjakan/mempelajari perkara tambahan disbanding perkara pokok, dikarenakan lebih mudah untuk dipelajari/dilakukan.
Manfaat yang jelas dari perkara tambahan tertentu membuat kita lebih tertarik untuk mempelajarinya bahkan dikembangkan lebih banyak lagi, terkadang sudah mulai mengikis keikhlasan bahkan tujuan sebenarnya. Bisa jadi kita bertujuan melakukannya bukan lagi sebagai bentuk usaha kita untuk menaati ajaran agama, tetapi lebih cenderung untuk kepentingan pribadi atau golongan. Mungkin saja karena kemunculan sebagian perkara tambahan tersebut berasal dari kebutuhan hawa nafsu manusia sehingga menghasilkan perkara yang sesuai keinginan (hawa nafsu) manusia juga tanpa mempertimbangkan sisi negafif yang mungkin tersirat/tersimpan rapi dalam perkara tambahan tersebut. Hal ini mengakibatkan banyaknya pengikut yang sebagian besar mereka memang lebih mengedepankan hawa nafsunya ketimbang ajaran agama sehingga menjadi salah satu alat mencari kebutuhan duniawi, baik itu harta atau kekuasaan.
Semua uraian diatas hanya berkaitan dengan urusan ajaran agama bukan urusan yang murni duniawi, karena kita diberikan keleluasaan dalam mengembangkan urusan duniawi seluas dan setinggi mungkin asalkan tidak menyalahi ajaran agama. Dan sangatlah tidak layak, jika kita disibukkan dengan perkara tambahan saja tanpa yang pokok dalam urusan ajaran agama, sementara kita tertinggal jauh dalam urusan duniawi dibanding orang-orang di luar agama kita sehingga kita hanya menjadi penonton dan pangsa pasar dari hasil yang mereka capai. Kenyataan ini nyaris membuat kita pesimis untuk bangkit mengingat jauhnya ketertinggalan, namun, mungkin tidak salah jika kita memulainya dengan memberikan waktu untuk mengejar ketertinggalan terutama ilmu pengetahuan duniawi untuk menjaga agama ini dari kerusakan yang lebih besar akibat minimnya ilmu pengatahuan kita.

Ref :
Al  Baqoroh    : 213
Ali Imron        : 103

Tidak ada komentar:

Posting Komentar