Saat di bangku sekolah, dimana
masing-masing sekolah memiliki pelajaran diluar jam sekolah (extra Kurikuler),
baik itu berupa olah raga, musik, tari bahkan kursus tambahan, semua itu tidak
lain adalah sarana untuk lebih memperluas wawasan kita akan ilmu pengetahuan,
bahkan terkadang extra Kurikuler tersebut lebih dinikmati daripada harus duduk
di kelas mengikuti pelajaran yang wajib. Karena tujuan utama kita adalah
belajar sesuai kurikulum yang sudah ada maka, kita boleh-boleh saja mengikuti
semua extra kurikuler tersebut asalkan tidak mengganggu kewajiban belajar kita
sesungguhya.
Begitu pula ajaran agama yang sudah
memiliki ajaran yang wajib dan ada pula yang sunnah (berpahala jika dikerjakan
tapi tidak berdosa jika ditinggalkan). Mungkin sebagian atau semua kita
berfikir bahwa ibarat makan nasi kita butuh lauk pauk dan sayur mayor, maka
perkara sunnah juga perlu dilakukan agar kita beragama dengan lengkap, namun
jangan sampai kita disibukkan dengan perkara sunnah sampai kita terlupakan
untuk menyempurnakan perkara wajib, karena tidaklah enak bagaimanapun lauk atau
sayurnya jika makanan pokoknya (nasi) tidak dimasak dengan benar.
Diantara kita mungkin ada yang
mengerjakan ibadah sunnah dengan bobot yang lebih tinggi, baik kualitas maupun
kuantitasnya dibandingkan mengerjakan perkara yang wajib. Hal itu bisa terjadi,
kemungkinan disebabkan karena kejenuhan atas rutinitas perkara wajib, sehingga
sebagian kita berusaha untuk mencoba alternatif lain yang terkadang cenderung
berlebihan. Padahal perkara yang wajib saja, belum tentu sudah kita kerjakan
dengan baik dan benar. Apakah tidak lebih baik membenahi perkara wajib lebih
dahulu, baru kemudian tambahannya?
Uraian diatas sekedar mengingatkan
kita bahwa ada perkara yang pokok (utama) dalam ajaran agama kita dan ada pula
ranting (tambahan), sehingga kita diharapkan untuk bisa membedakan posisi kedua
perkara tersebut dan memberikan prioritas masing-masing sesuai peruntukannya.
Seandainya, waktu hidup kita dan kapasitas akal yang kita miliki jika semuanya
digunakan untuk mengupas habis perkara yang wajib saja, belum tentu cukup untuk
menyelesaikannya. Jadi boleh saja kita mempelajari/melakukan suatu perkara
tambahan asalkan kita tidak terlena/lalai terhadap perkara yang wajib.
Manusia sebagai makhluq yang
tercipta dalam keadaan yang terus berkeluh kesah, sehingga terkadang manusia
lebih cenderung memilih perkara yang dianggap mudah dan enak untuk
dipelajari/dilakukan. Hal ini jika tidak dibatasi, akan membuat manusia tidak
lagi berjalan pada koridor ajaran agama yang sebenarnya, disebabkan manusia
lebih mendahulukan akal fikirannya dibanding ajaran agama yang dianutnya.
Berusaha membenarkan sesuatu yang dianggapnya mudah dan enak bagi dirinya,
kalau seperti itu kejadiannya maka ajaran agama sudah berada diperingkat kedua
dibawah akal dan fikiran manusia.
Tak kenal maka tak sayang, pepatah
ini cukup menggambarkan bahwa jika kita tidak punya keinginan untuk mengetahui
sesuatu maka kita tidak akan pernah tahu apa yang terkandung di dalamnya
sehingga kita tidak akan bisa menyayangi atau mencintainya. Mungkin saja perkara
tambahan yang kita bicarakan diatas terlihat lebih memiliki arti dibanding
perkara yang pokok, ini disebabkan kita tidak tahu apa yang sebenarnya berada dibalik
atau didalam perkara pokok tersebut dan kita tidak akan pernah tahu jika kita
tidak mau tahu atau mungkin saja ada rasa takut untuk mengetahuinya.
Tidak ada salahnya jika kita mencoba
mengetahui atau mempelajari dengan sedikit agak mendalam tentang ajaran agama
yang pokok sehingga mungkin saja kita bisa menguak isi dari ajaran pokok
tersebut. Hal ini memang tidaklah mudah dibandingkan dengan mempelajari perkara
yang berupa tambahan saja karena sebagian perkara pokok tersebut tidak begitu
jelas kegunaan dan manfaatnya sehingga memerlukan waktu yang lebih lama dan
ilmu pengetahuan yang lebih mendalam untuk memahami apa makna sebenarnya.
Dengan demikian mengertilah kita mengapa sebagian dari kita lebih memilih mengerjakan/mempelajari
perkara tambahan disbanding perkara pokok, dikarenakan lebih mudah untuk
dipelajari/dilakukan.
Manfaat yang jelas dari perkara
tambahan tertentu membuat kita lebih tertarik untuk mempelajarinya bahkan
dikembangkan lebih banyak lagi, terkadang sudah mulai mengikis keikhlasan
bahkan tujuan sebenarnya. Bisa jadi kita bertujuan melakukannya bukan lagi
sebagai bentuk usaha kita untuk menaati ajaran agama, tetapi lebih cenderung
untuk kepentingan pribadi atau golongan. Mungkin saja karena kemunculan
sebagian perkara tambahan tersebut berasal dari kebutuhan hawa nafsu manusia
sehingga menghasilkan perkara yang sesuai keinginan (hawa nafsu) manusia juga
tanpa mempertimbangkan sisi negafif yang mungkin tersirat/tersimpan rapi dalam perkara
tambahan tersebut. Hal ini mengakibatkan banyaknya pengikut yang sebagian besar
mereka memang lebih mengedepankan hawa nafsunya ketimbang ajaran agama sehingga
menjadi salah satu alat mencari kebutuhan duniawi, baik itu harta atau
kekuasaan.
Semua
uraian diatas hanya berkaitan dengan urusan ajaran agama bukan urusan yang murni
duniawi, karena kita diberikan keleluasaan dalam mengembangkan urusan duniawi
seluas dan setinggi mungkin asalkan tidak menyalahi ajaran agama. Dan sangatlah
tidak layak, jika kita disibukkan dengan perkara tambahan saja tanpa yang pokok dalam urusan ajaran
agama, sementara kita tertinggal jauh dalam urusan duniawi dibanding orang-orang di
luar agama kita sehingga kita hanya menjadi penonton dan pangsa pasar dari
hasil yang mereka capai. Kenyataan ini nyaris membuat kita pesimis untuk
bangkit mengingat jauhnya ketertinggalan, namun, mungkin tidak salah jika kita memulainya
dengan memberikan waktu untuk mengejar ketertinggalan terutama ilmu
pengetahuan duniawi untuk menjaga agama ini dari kerusakan yang lebih besar akibat minimnya ilmu pengatahuan kita.
Ref
:
Al Baqoroh : 213
Ali Imron : 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar