Secara sadar atau tidak sadar, kita tergelincir
atau terjerumus daam kesalahan. Memang begitulah, kenyataan yang ada dalam
kehidupan manusia, tidak ada seorang pun di muka bumi ini bisa terlepas dari
kesalahan, bukan hanya yang sudah atau sedang terjadi bahkan yang akan datang.
Perumpamaan seorang pelajar SMU yang
mengikuti ujian kelulusan atau ujian masuk perguruan tinggi, mungkin hanya
beberapa saja yang bisa menghasilkan nilai sempurna atau tidak ada sama sekali.
Bagaimana dengan kehidupan seorang manusia yang memiliki berbagai macam bentuk
ujian, semakin kita belajar memahaminya semakin banyak bentuk ujian yang harus
kita hadapi, semakin tinggi nilai seorang
manusia maka akan semakin tinggi pula kualitas ujian yang akan dihadapinya.
Kita mencoba untuk mengingat kembali
berbagai keburukan yang telah dilakukan, selanjutnya kita berharap bisa
terhindar dari kesalahan yang berikutnya terutama kesalahan yang terjadi tanpa
kita sadari. Tentu saja hal ini tidaklah mudah, namun sebagai langkah awal
mungkin ada baiknya kita mencoba melihat ke tempat asal (sumber) keburukan,
yaitu hati. Setiap saat dan terus berlanjut sepanjang kehidupan manusia di
dunia ini, telah dan sedang terjadi peperangan di dalam diri manusia antara
iman dan ilmu melawan tipu daya syaithon dan hawa nafsu syahwat. Secara
sederhana, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa keburukan terjadi jika tipu daya syaithon dan jebakan syahwat berada di
atas iman dan ilmu, begitupun sebaliknya.
Terasa cukup berat, membayangkan
perjuangan yang akan kita hadapi karena setiap saat kita harus berusaha
mengontrol hati dengan iman dan ilmu agar terhindar dari keburukan, sementara
syaithon baik berupa manusia atau jin terus berupaya mencari celah dimana
cahaya ilmu dan iman tidak dapat menghalangi mereka masuk untuk membisikkan
ajakan dan rayuannya. Bersamaan dengan itu, hawa nafsu syahwat bergejolak untuk
segera diwujudkan. Oleh sebab itu, manusia
tidak akan sanggup menghadapi semua ajakan, rayuan, bisikan dan jebakan yang
menerpa dirinya tanpa bimbingan dan bantuan dari Sang Maha Penguasa.
Setelah menyadari keburukan yang
telah kita lakukan, kemudian kita berusaha mengevaluasi diri dengan mencari
tahu sumber kesalahan dalam upaya mengenali celah lemah dalam diri kita
sehingga kita bisa segera memperbaiki dan mencegahnya terulang kembali. Sumber
kesalahan yang berpusat di hati merupakan salah satu bentuk penyakit yang
bersifat kompleks dan berantai sehingga tidaklah mudah mendiagnosanya tanpa
ilmu dan pengalaman yang memadai serta petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Sehingga,
salah satu hikmah dari suatu usaha
menuju kebaikan yaitu kerakusan akan ilmu pengetahuan.
Beberapa contoh nyata yang ada disekeliling
kita, misalkan saja keburukan itu berupa mencuri, maka sumber keburukan itu
bisa berupa keputus asaan, kecintaan terhadap dunia, kedengkian atau yang
lainnya. Misalkan lagi, keburukan itu berupa perbuatan zina, maka sumber keburukan
itu bisa datang dari mata dengan melihat, telinga dengan mendengar, hidung
dengan mencium serta banyak lagi celah yang terkadang terlihat seakan akan hal itu
merupakan perkara yang baik. Namun, ternyata berdampak atau mengarah ke perkara yang buruk. Ada juga,
celah yang nampaknya tidak berhubungan sama sekali dengan keburukan yang
terjadi namun sebenarnya celah itulah yang membawa kita menuju keburukan. Tanpa kita sadari dengan mencari tahu sumber
keburukan, maka secara tidak langsung kita sudah menambah sedikit demi sedikit
ilmu pengetahuan tentang bentuk-bentuk tipu daya syaithon.
Seperti halnya penyakit jasmani, penyakit
hati jika dibiarkan saja tanpa diusahakan kesembuhannya akan semakin bertambah
parah sehingga berakibat paling fatal berupa pembenaran dari suatu keburukan. Sumber
keburukan akan bertambah, tidak hanya kualitasnya tapi juga kuantitasnya,
karena semakin banyak celah yang menjadi sumber suatu keburukan semakin banyak
pula kemungkinan kesalahan itu akan terjadi. Untuk itulah, kita berusaha
mencari tahu celah yang kita miliki, kemudian berusaha menutupinya sedikit demi
sedikit, dengan cahaya iman dan ilmu. Secara perlahan, walaupun tidak
seluruhnya, celah yang ada bisa tertutupi dan akhirnya kita bisa memiliki
kemampuan untuk menolak tipu daya syaithon dan menghindari jebakan syahwat.
Celah yang paling rentan terhadap
pengaruh dari luar adalah panca indera yang berfungsi sebagai radar penerima. Semua
data yang diperoleh dikirimkan ke akal fikiran untuk diolah sesuai
kemampuannya, lalu hasilnya dikirimkan ke hati untuk kemudian diputuskan sesuai
kadar iman yang dimilikinya. Maka, akan lebih baik bila kita tidak memutuskan
atau melakukan sesuatu perkara tanpa memiliki ilmu tentang perkara tersebut. Apalagi,
jika ditambah kurangnya keimanan dalam hati kita, maka dengan kondisi seperti
itu, bisa dipastikan jalan yang kita lalui tidak lain adalah kesesatan, kecuali
yang dikehendaki oleh yang Maha Kuasa.
Di sisi bagian dalam ada hawa nafsu manusia
yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan akal dan hati dalam mengolah dan
memutuskan. Dari celah inilah, sebagian besar kesalahan manusia dimulai. Hawa nafsu yang memiliki
berbagai macam bagian bisa menjadi bermanfaat jika dikendalikan dengan baik
berlandaskan iman dan ilmu, namun akan menjadi bahaya jika hawa nafsu yang
berbalik menjadi pemegang kendali. Maka, jika nafsu kebinatangan yang
mengendalikan maka manusianya akan bertingkah seperti binatang, jika nafsu
kesyaithonan yang mengendalikan maka manusianya akan bertingkah seperti
syaithon. Begitulah, pada asalnya hati
manusia adalah suci sampai hawa nafsu mengendalikannya.
Selain mengenal sumber keburukan,
kita juga sebaiknya mengenal benih kebaikan sebagai usaha memperkuat
balatentara kita, yaitu iman dan ilmu, agar mampu mengalahkan tipu daya
syaithon dan jebakan syahwat. Iman akan bertambah seiring kita melakukan
kebaikan terutama yang berkaitan dengan ritual ibadah sebagai upaya untuk tetap
mendekatkan diri dan memohon perlindungan kepadaNya. Sementara, ilmu diperlukan
dalam upaya mengenali keburukan dan melaksanakan kebaikan, karena tipu daya syaithon dan jebakan syahwat
tidak hanya melalui celah dalam hal kesalahan tapi juga celah dalam hal
kebaikan bahkan tipu daya syaithon lebih
halus dan lebih berkualitas dalam hal kebaikan, karena manusia yang dihadapinya
juga lebih berkualitas.
Setelah kita mencoba mencari sumber
dari suatu keburukan, tentu akan lebih baik kita juga mengenal dampak negatif
dari keburukan tersebut. Misalkan, seperti contoh diatas, keburukan yang dilakukan
adalah mencuri, maka resikonya selain tertangkap atau dihukum, memiliki dampak
negatif lain diantaranya: memakan barang yang haram, menyakiti makhluk, membuat
gelisah, membuat ketagihan maksiat, dan lain sebagainya. Ternyata larangan Sang
Maha Penguasa memiliki bahaya yang sangat banyak, wajar saja jika makhlukNya
dilarang melakukannya. Ibarat orang tua melarang anaknya agar terhindar dari bahaya,
apalagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang Maha Mengetahui.
Selain berusaha mengenali dampak
negatif dari suatu keburukan, maka tidak ada salahnya jika kita mengenali
dampak positif dari suatu kebaikan, baik terhadap diri kita maupun mahkluk lain
disekitar kita. Selain pahala atau hal yang tersirat yang dapat kita peroleh
dari suatu kebaikan, tapi juga akan menambahkan keimanan, melindungi diri dari tipu
daya syaithon, memancarkan aura positif ke lingkungan sekitarnya, menenangkan
hati dan lain sebagainya. Sementara kebaikan yang berhubungan dengan manusia
akan mempererat silaturahmi, menumbuhkan sikap tolong menolong, menumbuhkan
sikap saling menghargai, menciptakan citra positif pada diri kita dan lain
sebagainya. Tapi, semua dampak positif
dari suatu kebaikan bukanlah tujuan sebenarnya, tujuan sejati adalah
mengharapkan ridho dari Sang Maha Pencipta.
Akhirnya, adalah suatu keburukan,
jika kita terlena atau tenggelam dalam penyesalan yang berkepanjangan
disebabkan noda dan dosa yang kita telah lakukan, sehingga membuat kita lupa
bahwa Sang Maha Pengampun sangat menyenangi hambaNya yang ingin memperbaiki
diri. Keburukan bisa memiliki dampak positif, jika keburukan itu membuat kita
berusaha dengan sungguh sungguh untuk mendekatkan diri kepadaNya sebagai bentuk
tanggungjawab dari perbuatan kita selama ini. Dan, juga akan membuat kita lebih
merendah/tunduk dalam melakukan ibadah kepadaNya.
Mari,
kita mulai melangkah untuk memperbaiki diri kita dengan mengevaluasi semua keburukan
yang sudah terjadi dan memohon ampun kepadaNya serta terus berusaha
memperbaiki kebaikan yang sudah kita miliki.
Ref
:
Al Insyiqoq : 6
Al Insan : 2-3
An Najm : 31-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar